AGAMA BUDDHA PEDOMAN HIDUPKU
Kumpulan Ceramah Dhamma
Bhikkhu Uttamo
1. MANFAAT KE VIHARA
Mendengarkan dan berdiskusi Dhamma pada
saat yang sesuai, itulah Berkah Utama
(Manggala sutta)
Jikalau kita renungkan, setiap tahun terhitung ada sekitar 52 minggu. Selama itu, berapa kali kita tidak
hadir ke vihara? Dalam 52 minggu yang ada berapa kali kita hadir di vihara? Ada umat yang hadir
sebanyak 30 kali, ada pula umat yang hadir kurang dari 30 kali. Kadang-kadang malah ada umat yang
hanya hadir 4 kali dalam setahun, yaitu: Pada perayaan Magha Puja, Waisak, Asadha, serta Kathina. Jadi,
ada umat yang hadir ke vihara sebanyak 4 kali, 14 kali, tetapi jarang ada umat yang dapat hadir penuh
sampai 52 kali setahun. Alasan mereka macam-macam, salah satunya: Sibuk. Menghadiri puja bakti
secara rutin memang cukup sibuk. Namun bila kita melihat kesibukan para pejabat tinggi negara kita, di
tengah kesibukannya mereka masih dapat melaksanakan ibadahnya dengan khusuk lima kali sehari.
Apabila kita seminggu sekali saja tidak memiliki waktu, apakah berarti kita memang lebih sibuk daripada
para pejabat tersebut? Hanya kita sendirilah yang tahu jawaban sesungguhnya.
Sebetulnya kita bukanlah sibuk, hanya saja tidak mau menyisihkan waktu untuk kebaktian. Kesibukan
sesungguhnya dapat kita atur sendiri, karena memang kita sendirilah yang membuat kesibukan. Saat tidur
saja dapat pula dianggap kesibukan. Kalau kita sedang tidur, kita dapat mencantumkan tulisan: Jangan
ganggu, sedang sibuk. Telpon pun tidak mau menerima. Sepertinya kita sibuk, padahal kegiatan kita
hanyalah tidur. Jadi, kalau kita mengatakan: "Saya sungguh sibuk," pada saat kebaktian, pada saat itu
mungkin kita masih ingin tidur. Oleh karena itu, dalam satu tahun yang terdiri dari 52 minggu yang telah
dijalani, berapa kali kita telah pergi ke vihara? Ini masih menjadi tanda tanya. Dan yang dapat
menjawabnya adalah diri kita sendiri. Orang lain mungkin tidak akan sempat mencatat kehadiran kita.
Hari ini si A hadir, si B tidak hadir, si C hadir, si D tidak hadir. Tidak mungkin. Yang mencatat kehadiran
kita adalah diri kita sendiri.
Hadir dalam puja bakti sesungguhnya sangat penting artinya. Kenapa demikian? Karena dalam etika
ajaran Sang Buddha, kita harus hadir pada setiap hari kebaktian. Dari manakah etika itu muncul?
Mungkin kita sempat berpikir, "Dalam kitab suci Tri Pitaka tidak pernah disebutkan bahwa kita harus
hadir dalam kebaktian baik pada hari Minggu atau pun bukan." Memang dalam kita suci Tri Pitaka tidak
disebutkan hari Minggu harus kebaktian. Tetapi hendaknya kita ingat, dalam kitab suci kita, Tri Pitaka,
diceritakan bahwa para murid Sang Buddha pada hari Uposatha, yang pada jaman itu jatuh pada tanggal
1, 8, 15, dan 23 menurut penanggalan bulan (Imlek), mereka datang menemui Sang Buddha. Mereka
bersujud di hadapan kaki Sang Buddha. Sang Buddha kemudian membabarkan Dhamma kepada mereka,
sehingga muncullah kebahagiaan dalam diri mereka. Inilah awal mula adanya tradisi kebaktian dalam
Agama Buddha. Itulah saat melaksanakan Puja Bakti yaitu pada hari Uposatha, tanggal 1, 8, 15, 23
menurut penanggalan bulan atau Imlek. Kemudian setelah Sang Buddha wafat maka tempat duduk Sang
Buddha lah yang dijadikan obyek pemujaan. Maka ketika kita ditanya: "Hendak ke mana?" Jawabnya
bukanlah: "Hendak sembahyang" Bukan. Kita sebenarnya tidak pernah sembahyang. Umat Buddha tidak
bersembahyang, tetapi melakukan Puja Bakti. Istilah 'sembahyang' berarti menyembah Hyang atau dewa.
Kita bukanlah penyembah dewa, dan kita juga tidak pernah meminta-minta kepada dewa: "
Dewa angin, percepatkanlah mobil saya ini supaya saya tidak terlambat datang ke vihara." Itu adalah sembahyang. Kita
tidak pernah demikian. "Dewa pintar, ubahlah diri saya menjadi anak yang pandai sehingga saya mampu
mengerjakan semua ulangan ini dengan baik." Itu adalah sembahyang. Kita, umat Buddha tidak pernah
melakukannya. "Dewa mabuk, buatlah semua guru sekolah saya menjadi mabuk dan pusing sehingga hari
ini sekolah diliburkan." Tidak ada dalam pengertian Agama Buddha rumusan permohonan seperti itu.
Sekali lagi, para umat Buddha tidak pernah sembahyang melainkan melakukan puja bakti!
Istilah 'Puja Bakti' memiliki pengertian bahwa kita memuja, menghormat, dan berbakti dengan
menjalankan ajaran Sang Buddha. 'Pemujaan' timbul ketika pada jaman dahulu, para bhikkhu dan murid
Sang Buddha lainnya bersujud kepada Sang Buddha. Mereka memuja, menghormat dengan membawa
bunga, dupa dan lilin. Kalau sekarang, bunganya sudah disediakan di vihara, lilinnya juga sudah
dihidupkan, jadi orang tinggal memasang dupa saja. Begitulah tradisi pemujaan. Kemudian tentang istilah
berbakti. Ketika kita membaca Paritta sebenarnya adalah merupakan pengganti khotbah Sang Buddha,
mengulang khotbah Sang Buddha, merenungkan isinya dan membawanya pulang ke rumah untuk
dilaksanakan dalam kehidupan kita sehari-hari. Itulah makna istilah Puja Bakti.
Sejak jaman Sang Buddha, sebulan 4 kali yaitu tanggal 1, 8, 15, 23 diadakan pertemuan di vihara dan
pembabaran Dhamma. Oleh karena itu, setelah Sang Buddha wafat, tempat duduk Sang Buddha atau
simbol-simbol yang berhubungan dengan ajaran Sang Buddha -seperti misalnya bunga teratai, pohon
bodhi, cakra, stupa, dan kemudian perwujudan Sang Buddha- menjadi obyek pemujaan. Mereka datang di
hadapan Buddha rupang, memasang dupa, lilin, menghormat dan kemudian berbakti dengan mengulang,
mengingat serta melaksanakan Ajaran Sang Buddha. Dengan demikian, maka terbentuklah etika umat
Buddha bahwa pada hari yang sudah disepakati mereka mengadakan Puja Bhakti. Kalau pada jaman
dahulu jatuh setiap tanggal 1, 8, 15, 23, kesepakatan kita sekarang adalah setiap hari Minggu saja.
Kenapa? Karena tanggal 1, 8, 15, 23 itu kadang-kadang jatuh pada hari kerja, dan kalau pada hari kerja
alasan sibuk tentu akan lebih banyak muncul. Dengan mengingat bahwa etika seorang umat Buddha
seminggu sekali bertemu dengan Sang Buddha, bertemu dengan Dhamma, bertemu dengan Sangha, untuk
mendengarkan Dhamma kemudian melaksanakannya di dalam kehidupan sehari-hari, maka hendaknya
hari apapun kesepakatan kita mengadakan puja bakti, kita harus berusaha datang. Itu adalah etikanya.
Pada jaman dahulu di masa Sang Buddha, kalau di vihara sedang ada ceramah Dhamma, ada Puja Bakti,
maka di halaman vihara itu dinaikkan selembar bendera. Dari kejauhan kibaran bendera itu telah nampak.
Apakah maksudnya? Dengan melihat bendera itu, orang yang datang dari jauh akan segera mengetahui
bahwa Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma. Mereka kemudian akan berjalan dengan hati-hati,
tenang serta menghindari suara berisik agar tidak mengganggu kekhusukan dan kekhidmatan vihara. Jadi
semua kendaraan -di jaman itu kereta- langsung diparkir.
Pada waktu berziarah ke India, di sebuah bukit kita diberitahu bahwa Raja Bimbisara bila naik ke bukit itu
untuk menjumpai Sang Buddha, keretanya diparkir di suatu tempat di bawah bukit. Areal parkirnya masih
ada. Kemudian di tengah bukit ada sebuah gardu tempat Raja Bimbisara meninggalkan para pengawalnya.
Raja Bimbisara masih diiringi dua atau empat pengawalnya. Ketika lebih dekat dengan tempat Sang
Buddha tinggal, di gardu terakhir, para pengawal ditinggal di situ, agar tidak menimbulkan keributan.
Barulah Raja Bimbisara naik ke puncak bukit sendirian untuk bertemu dengan Sang Buddha. Jadi bila
telah terlihat kibaran bendera di atas bukit, orang akan segera tahu bahwa Sang Buddha sedang
membabarkan Dhamma karena itu semua orang harus menjaga ketenangan. Tenang bukan berarti tidak
bergerak, melainkan berjalan dengan diam agar tidak mengganggu orang lain yang sedang mendengarkan
khotbah Sang Buddha.
Inilah latihan kedisiplinan sekaligus memperhatikan kebutuhan orang lain yang sesungguhnya ada dalam